English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 26 Oktober 2011

Tragedi Simonceli

SELAMA gelaran motoGP sejak 1949, sudah 25 pembalap tewas di sirkuit. Terakhir adalah Marco Simoncelli yang tewas mengenaskan di Sirkuit Sepang, Malaysia. Pembalap yang baru berusia 24 tahun itu mengembuskan napas setelah kepalanya dilindas sepeda motor yang ditunggangi pembalap lain.
Tragis. Ya, kematian Simoncelli yang dikenal sebagai pembalap nyentrik dan berani itu sangat mengenaskan. Lebih tragis lagi --meski tidak mungkin menjadi juara dunia 2011 karena sudah digenggam Casey Stoner--  ajal itu menjemput di kala prestasinya sedang menanjak. 

 
Kematian dalam ajang adu balap, bukanlah hal mengejutkan. Risiko besar itu selalu menjadi ‘teman’ para pembalap adalah kecelakaan. Dan, imbas pahit kecelakaan adalah luka-luka atau meninggal. 
 
Itulah risiko yang sudah pasti disadari Simoncelli saat memutuskan hidup menggeluti dunia balap. Dia pun juga pasti sudah mengetahui, bisa saja nyawanya terbang saat berlomba. Namun, sebagai manusia, tentu dia tidak pasrah saja menanti jemputan ajal saat memacu sepeda motor. 
 
Sebagai pembalap profesional, Simoncelli tentu sejak dini sudah ‘mengamankan diri’ dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecelakaan fatal. Sebagai salah satu pembalap elit dunia, keterampilan dan keahliannya berkendara secara cepat namun aman, juga tidak diragukan. 
 
Namun, semua memang berpulang kepada nasib. Takdir. Pengamanan diri dan keahlian, tidak mampu lagi ‘berbicara banyak’. Keduanya hanya masuk ke wilayah ikhtiar. 
 
Faktanya, sebagaimana dilihat ratusan juta warga dunia baik secara langsung maupun melalui layar televisi, nilai tragis musibah itu sangat tinggi. Hanya karena sepersekian detik kesalahan, semua rencana dan perhitungan, berubah total. Nyawa pun menjadi taruhan. 
 
Semula, penonton tidak mengira, kecelakaan itu berujung kematian. Simoncelli pernah mengalami kondisi serupa di sirkuit yang sama, beberapa tahun lalu. Saat uji lintasan, dia dua kali jatuh dari sepeda motor yang bergerak dalam kecepatan supertinggi. Namun, dia segera bangkit dan kembali menggeber sepeda motornya. Tragedi 23 Oktober 2011 berbeda. Pembalap yang dijuluki next Valentino Rossi itu tidak bisa lagi mengelak dari ajal. 
 
Ada pertanyaan yang muncul sesuai tragedi itu. Yakni, mudahnya helm yang digunakan Simoncelli terlepas saat ditabrak pembalap lain. Logika awam, pembalap kelas pemula saja sangat memperhatikan helm yang dipakainya, apalagi level motoGP. 
 
Terasa aneh jika Simoncelli sampai lalai meng-klik helmnya secara benar, apalagi jika kualitas helmnya tidak standar. Banyak spekulasi muncul, tetapi jawaban pasti baru bisa diperoleh setelah kelarnya penyelidikan yang saat ini sudah berlangsung. Yang pasti, mengenakan helm secara baik dan benar, sangatlah penting untuk pengamanan diri saat bersepeda motor.   
 
Membalap sepeda motor sudah menjadi pilihan hidup Simoncelli. ‘Super Sic’ sudah menyerahkan jiwa raganya ke olahraga menantang maut itu meski semua orang tahu dalam dunia adu balap batas kematian dan kejayaan sangat tipis. Akan tetapi pilihan itu harus dihormati. Simoncelli telah mengajarkan kepada generasi muda untuk secara total menggeluti piliham hidup.
 
Tentunya, apa pun pilihan itu, ada dua kemungkinan keberhasilan dan kegagalan. Semua memiliki risiko. Sebagai umat beragama, tentu kita harus berupaya meminimilisasi risiko itu melalui doa dan usaha. Selanjutnya adalah memasrahkan diri kepada Allah SWT. (*)

http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/1970/1/1/148821/Belajar-dari-Tragedi-Simoncelli
pictur from http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=106376

0 komentar:

Posting Komentar

Jalan Ninja © 2008 Template by:
SkinCorner